Malam sudah terlampau larut. Di jalanan di depan kedai kopi
24 jam itu sudah tidak terdengar bising kendaraan yang sibuk berlomba dengan
bunyi klaksonnya. Bulan masih bersinar penuh pada pertengahan bulan ini.
Posisinya tepat di atas kepala, menunjukkan hari yang sudah hampir mencapai
ujungnya.
Lima
cangkir kopi yang tersaji di salah satu meja sudah tidak lagi mengepulkan
asapnya. Hanya saja, semangat yang terpancar dari tiga orang mahasiswa dan dua
orang mahasiswi yang duduk melingkar di meja itu terlihat sangat menggebu-gebu.
Meskipun mata rasanya sudah ingin terpejam, tubuh sudah berteriak ingin
dibaringkan, hujan menari-nari di luar, api itu tidak surut.
“Kenapa
mereka tidak mau mendengarkan?” seru Riana. “Bukankah mereka yang selalu
mendorong kita, para mahasiswa, untuk berkreasi dan berbuat? Mengaplikasikan
dan memberikan manfaat itu apa hanya sekedar kata yang diucapkan sambil lalu
tanpa arti sesungguhnya?”
“Besok
kita ketemu sama Pak Andi lagi saja. Coba kita tanya lagi sama beliau dengan
membawa proposal yang lebih rapi.” Gara mencoba menurunkan tensi. Dia memang
menjadi orang yang paling dipercaya untuk menjadi penengah karena kekonsistenan
yang dia miliki untuk tetap netral dan berpikir dengan kepala dingin.
“Gue
sepakat sama Gara. Sekarang tinggal bagaimana caranya kita bisa mematangkan
konsep kegiatannya sekaligus pencerdasan supaya kita semua punya pemahaman yang
sama.” Wibi menimpali. Ia meneguk sedikit kopi cappuccino yang masih tersisa di
gelasnya.
Tiba-tiba
dari balik laptop, Ara yang sedari tadi sibuk dengan apapun itu yang terpampang
pada layar laptopnya angkat bicara. Ia memutar layar laptopnya menghadap ke
arah empat temannya yang lain. “Desain proposal aku bagus nggak?”
Ara
nyengir bocah. Yang lain memberikan respon positif. Urusan desain memang Ara
yang sudah paling jago dan tidak perlu diragukan lagi. Bahkan sudah ada
beberapa orang yang memberinya proyek untuk membuatkan desain atas banyak hal.
Dengan bayaran tertentu pastinya.
“Nah,
berarti sekarang aku mau buat simulasi gambar proyeknya nanti akan seperti apa
kalau sudah jadi. Bentuknya nggak berubah kan?” Ara membalik laptopnya kembali
hanya ke arahnya. “Buat konsep kerjanya sebetulnya aku pengen kita bikin open recruitment relawan
sebanyak-banyaknya supaya nggak cuma kita yang pintar. Dari sana, komunitas
kita juga bisa tumbuh semakin luas dan yang dihasilkan bisa lebih banyak.”
Ara,
selain paling jago desain, paling jago untuk memberikan tamparan dengan ide-ide
segarnya. Jadi, dia adalah partai oposisi dalam segala aspek pembicaraan. Dia
menyadarkan mereka semua mengenai sudut pandang yang ada di seberang sana. Dia
yang memaksa mereka untuk mengembangkan pemikiranny. Di balik laptop itu,
banyak yang dia lihat dan renungi.
“Kenapa
nggak terpikir dari kemarin? Nggak ada gunanya juga kalau kita bersikap
eksklusif bukan?” Jehan berbicara sambil tangannya melambai memanggil
pramusaji. “Mas, mau ice chocolate ya satu. Yang lain mau pesen apa lagi?”
Setelah
sesi pemesanan yang kedua selesai, Jehan melanjutkan menyampaikan opininya.
“Kenapa harus kita menutup diri untuk diri kita saja? Kita ingin menempeleng
mereka? Namun kita tidak memberikan mereka kesempatan untuk ikut bergabung. Ini
semua jadi semacam paradoks yang…aneh.”
“Gue
nggak sepakat, Je. Masalahnya kan kita mau menampar mereka dengan cara kita
sudah bisa membuat kegiatan semacam ini lebih dulu dari mereka. Kalau begitu
caraya, berarti..” Wibi terlihat tidak sepakat.
“Maksud
aku, bukannya itu seakan jadi terlalu egois ya?” Ara memotong. “Dengan kita
bisa mengambil alih penyelenggaraan kegiatan ini, bisa mendapat kepercayaan
langsung dari dekanat, semua hal itu menurut aku sudah bisa membuat mereka
merasa buruk.”
“Bener
juga sih Bi apa yang Ara bilang. Egois kalau kita malah terlalu menutup diri
seperti itu.” Riana kembali menyuarakan isi kepalanya. Tangannya selalu
bergerak lincah setiap ia mencoba untuk menyampaikan pendapatnya atau sekedar
bercerita singkat.
to be continued..
No comments:
Post a Comment