December 11, 2013

obrolan warung kopi (1)



Malam sudah terlampau larut. Di jalanan di depan kedai kopi 24 jam itu sudah tidak terdengar bising kendaraan yang sibuk berlomba dengan bunyi klaksonnya. Bulan masih bersinar penuh pada pertengahan bulan ini. Posisinya tepat di atas kepala, menunjukkan hari yang sudah hampir mencapai ujungnya.
Lima cangkir kopi yang tersaji di salah satu meja sudah tidak lagi mengepulkan asapnya. Hanya saja, semangat yang terpancar dari tiga orang mahasiswa dan dua orang mahasiswi yang duduk melingkar di meja itu terlihat sangat menggebu-gebu. Meskipun mata rasanya sudah ingin terpejam, tubuh sudah berteriak ingin dibaringkan, hujan menari-nari di luar, api itu tidak surut.
“Kenapa mereka tidak mau mendengarkan?” seru Riana. “Bukankah mereka yang selalu mendorong kita, para mahasiswa, untuk berkreasi dan berbuat? Mengaplikasikan dan memberikan manfaat itu apa hanya sekedar kata yang diucapkan sambil lalu tanpa arti sesungguhnya?”

“Besok kita ketemu sama Pak Andi lagi saja. Coba kita tanya lagi sama beliau dengan membawa proposal yang lebih rapi.” Gara mencoba menurunkan tensi. Dia memang menjadi orang yang paling dipercaya untuk menjadi penengah karena kekonsistenan yang dia miliki untuk tetap netral dan berpikir dengan kepala dingin.
“Gue sepakat sama Gara. Sekarang tinggal bagaimana caranya kita bisa mematangkan konsep kegiatannya sekaligus pencerdasan supaya kita semua punya pemahaman yang sama.” Wibi menimpali. Ia meneguk sedikit kopi cappuccino yang masih tersisa di gelasnya.
Tiba-tiba dari balik laptop, Ara yang sedari tadi sibuk dengan apapun itu yang terpampang pada layar laptopnya angkat bicara. Ia memutar layar laptopnya menghadap ke arah empat temannya yang lain. “Desain proposal aku bagus nggak?”
Ara nyengir bocah. Yang lain memberikan respon positif. Urusan desain memang Ara yang sudah paling jago dan tidak perlu diragukan lagi. Bahkan sudah ada beberapa orang yang memberinya proyek untuk membuatkan desain atas banyak hal. Dengan bayaran tertentu pastinya.
“Nah, berarti sekarang aku mau buat simulasi gambar proyeknya nanti akan seperti apa kalau sudah jadi. Bentuknya nggak berubah kan?” Ara membalik laptopnya kembali hanya ke arahnya. “Buat konsep kerjanya sebetulnya aku pengen kita bikin open recruitment relawan sebanyak-banyaknya supaya nggak cuma kita yang pintar. Dari sana, komunitas kita juga bisa tumbuh semakin luas dan yang dihasilkan bisa lebih banyak.”
Ara, selain paling jago desain, paling jago untuk memberikan tamparan dengan ide-ide segarnya. Jadi, dia adalah partai oposisi dalam segala aspek pembicaraan. Dia menyadarkan mereka semua mengenai sudut pandang yang ada di seberang sana. Dia yang memaksa mereka untuk mengembangkan pemikiranny. Di balik laptop itu, banyak yang dia lihat dan renungi.
“Kenapa nggak terpikir dari kemarin? Nggak ada gunanya juga kalau kita bersikap eksklusif bukan?” Jehan berbicara sambil tangannya melambai memanggil pramusaji. “Mas, mau ice chocolate ya satu. Yang lain mau pesen apa lagi?”
Setelah sesi pemesanan yang kedua selesai, Jehan melanjutkan menyampaikan opininya. “Kenapa harus kita menutup diri untuk diri kita saja? Kita ingin menempeleng mereka? Namun kita tidak memberikan mereka kesempatan untuk ikut bergabung. Ini semua jadi semacam paradoks yang…aneh.”
“Gue nggak sepakat, Je. Masalahnya kan kita mau menampar mereka dengan cara kita sudah bisa membuat kegiatan semacam ini lebih dulu dari mereka. Kalau begitu caraya, berarti..” Wibi terlihat tidak sepakat.
“Maksud aku, bukannya itu seakan jadi terlalu egois ya?” Ara memotong. “Dengan kita bisa mengambil alih penyelenggaraan kegiatan ini, bisa mendapat kepercayaan langsung dari dekanat, semua hal itu menurut aku sudah bisa membuat mereka merasa buruk.”
“Bener juga sih Bi apa yang Ara bilang. Egois kalau kita malah terlalu menutup diri seperti itu.” Riana kembali menyuarakan isi kepalanya. Tangannya selalu bergerak lincah setiap ia mencoba untuk menyampaikan pendapatnya atau sekedar bercerita singkat.

to be continued..

No comments:

Post a Comment