"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Mata Jia menatap nanar. Laki-laki yang berdiri di hadapannya hanya diam. "Untuk apa lagi kamu muncul? Belum cukupkah kemarin itu kamu berusaha merobek dan menginjak semua mimpiku ke tanah?"
Jia tidak habis pikir. Dia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikir laki-laki ini. Awalnya, ia datang dengan membawa matahari yang bersinar terang. Ya, ia menerangi jalan Jia yang sempat terasa begitu kelam. Ia menawarkan sejuta mimpi untuk dirajut dan digantungkan bersama. Ia memberikan sebuah pundak untuk beristirahat dan seorang teman untuk berlari menggapai mimpi. Jia pikir, semua akan seindah cerita dongeng yang sering ia baca. Hingga akhirnya, tidak, Jia tidak ingin mengingat hari itu lagi. Terlalu menyakitkan.
"Kenapa diam saja? Kamu lupa bagaimana caranya berbicara?" Jia berusaha untuk bersikap tegar meski air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. "Kalau akhirnya kamu hanya diam, lebih baik kamu pergi dari sini Dion. Aku lelah."
Udara sore itu sesungguhnya terlalu nyaman dan memberikan suasana damai. Namun, tidak di teras depan rumah Anjia Vindira. Atmosfer yang menyelubungi Jia dan Dion kala itu terlalu mencekam dan tidak menyenangkan. Padahal seharusnya kita berdua tidak seperti ini, Dion. Seharusnya kita tidak pernah berbicara dengan nada setinggi ini. Kita tidak pernah saling menolak pandangan satu sama lain. Lihat apa yang telah kamu lakukan kepada kita, Di.
"Boleh kita bicara sambil duduk?"
Dari sekian banyak hal yang perlu kamu jelaskan dan kamu hanya berkata seperti itu, Di? Jia bergerak menuju salah satu dari dua kursi yang ada di teras rumahnya. Diusapnya air mata yang mengumpul sebelum benar-benar jatuh ke pipinya. Ia tidak ingin menangis kembali karena laki-laki ini. Setidaknya, bukan di hadapannya.
"Apa kabar, Ji?" Dion bertanya sambil menyunggingkan senyumnya. Senyum menyenangkan itu. Senyum mendamaikan itu. Senyum yang Jia rindukan itu. Dan Jia memilih untuk diam sambil mengalihkan pandangannya pada langit yang mulai memerah.
"Ujian kemarin lancar semua? Jia mah pasti bisa A semua deh itu. Jia yang rajin dan pintar begini, mana mungkin bisa dapat nilai jelek." Dion tertawa kecil. "Kalo aku baru deh nilainya do re mi."
Jia tetap tidak ingin untuk membalas semua yang dikatakan Dion. Jia tidak ingin Dion mendengar suaranya yang bergetar. Jia takut hatinya akan mengambil alih seluruh kepalanya dan mengatakan yang sesungguhnya sedang ia rasakan saat ini. Ia ingin Dion sadar bahwa apa yang telah ia lakukan adalah salah. Bahwa ia benci Dion yang seegois itu.
Dion terdengar sedikit menghela napas dan mengatur ritme nafas serta emosinya. "Aku tau kamu pasti tidak akan pernah mau mendengarkan aku lagi. Aku datang kemari hari ini hanya ingin melihat kamu. Sekali saja setidaknya sebelum aku harus pergi. Aku perlu menghapal setiap detail darimu untuk menjaga semangatku tetap berada di posisi tertingginya. Karena sesungguhnya berinteraksi denganmu adalah kebutuhan layaknya obat yang perlu dikonsumsi secara rutin. Hanya ini yang bisa menjaga kepalaku tetap pada jalur dan tetap menjadi Dion yang waras dan menjejak tanah."
Jia tercenung mendengar penuturan Dion. Ia selalu tahu bagaimana seseorang sedang berbohong atau tidak dan ia tahu Dion tulus mengatakan setiap kata tersebut. Jia menekan dadanya. Rasanya tiba-tiba segalanya menjadi terlalu menyesakkan, bahkan ketika udara di sekitar sesegar ini. Kejujuran ini, justru ini yang Jia takutkan. Bahwa ia tidak bisa lagi mengelak bahwa Jia juga membutuhkannya. Bahwa ia rindu. Bahwa ia sebegitu inginnya untuk langsung mendekapnya dan melepaskan seluruh emosi yang ada.
"Nggak apa-apa kalau kamu masih nggak mau ngomong sama aku. Aku mengerti. Aku hanya ingin mengabarkan bahwa pekan depan aku berangkat ke Amerika. For good. Dan aku nggak tahu kapan akan kembali ke sini. Makanya aku mampir." Dion tersenyum dengan tatapannya yang lekat pada Jia.
"Kenapa baru sekarang?" Akhirnya Jia angkat bicara. Ia sudah tidak peduli lagi mengenai suaranya, mengenai air matanya, mengenai semuanya. Ia hanya butuh penjelasan. "Kenapa tidak sejak kemarin kamu kembali? Kenapa tidak sejak kemarin kita berbaikan sebelum luka yang ada menjadi terlalu dalam? Kamu jahat, Di."
Dion terdiam sejenak. "Butuh keberanian yang sangat besar untuk bisa bertemu muka denganmu lagi. Aku terlalu malu untuk kembali. Aku takut aku akan menyakiti kamu lagi nanti."
"Kamu yang pergi yang menyakiti aku. Kamu yang tidak pernah kembali lagi yang menghancurkan aku, Dion." Jia berbicara dengan suara tertahan. "Sesungguhnya aku kangen kamu." Semuanya pun tumpah.
Dion bergerak berdiri dan berjalan persis ke hadapan Jia. "Boleh aku peluk kamu?"
Jia berdiri dan memberikan dirinya. "Jangan pernah pergi lagi. Aku butuh kamu, Dion."
"Kamu mau ikut aku ke Amerika?" Dan mereka berdua tersenyum.
-fin.-
RANDOM BANGET GAN BUSET DEH
ReplyDeletewkwk lagi iseng aja nyari-nyari kerjaan itu eh jadinya malah kayak begitu ceritanya maap yak gaje
ReplyDelete